PENDIDIKAN LUAR BIASA
Sabtu, 28 Juni 2014
RETARDASI MENTAL
Deteksi Terhadap Anak-Anak Penderita Retardasi Mental
Dengan Melakukan Analisa Pada Ekspresi Wajah
Dewasa ini anak-anak penderita
retardasi mental mulai dapat dideteksi semenjak usia 3-4 tahun atau sesudah
dilakukan evaluasi dengan test Kecerdasan Intelektual (IQ). Adapun test IQ yang
ada saat ini hanya diperuntukkan bagi anak yang berusia di atas usia 3 tahun.
Sampai sekarang belum ditemukan metode pengukuran IQ bagi anak-anak berusia di
bawah 3 tahun. Jika anak-anak penderita retardasi mental dapat dideteksi
sebelum berusia 3 tahun, rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin sebelum
otak berkembang sempurna Sehingga kemungkinan untuk pulih akan semakin besar
dan kemampuan anakpun akan dapat ditingkatkan. Riset ini bertujuan mendeteksi
anak-anak penderita retardasi mental pada usia 6 hingga 12 bulan dengan
menganalisa ekspresi wajah mereka setelah diperlihatkan foto-foto tertentu.
Metode dilakukan dengan menganalisa pada ekspresi wajah anak-anak, lalu
mengkategorikan anak-anak yang memiliki otak yang dapat bereaksi normal dan
anak-anak yang memiliki masalah dalam menangkap informasi tertentu yang datang
ke otak. Juga dilakukan evaluasi terhadap efektifitas otak anak dengan
menghitung waktu respon yang timbul setelah anak melihat gambar-gambar foto tertentu.
Semakin pendek waktu respon yang timbul semakin cepat kerja otak dalam mengolah
informasi yang masuk. Sebaliknya semakin panjang waktu respon yang ada terdapat
kemungkinan otak mempunyai masalah dalam mengolah suatu informasi. Sebagai
obyek, 20 orang anak-anak Jepang yang terdiri dari 10 anak-anak laki-laki dan
10 anak-anak perempuan. Usia berkisar antara 6 bulan hingga 12 bulan. Gambar
Foto Wajah dipilih 12 gambar foto wajah tertentu yang berukuran 512 x 512
pixel. Ke-12 gambar foto tersebut terdiri dari 4 foto dari ibu anak (Mother), 4
foto dari wanita yang tidak dikenal anak (Unknown Woman), dan 4 foto lagi dari
gabungan (Combination) wajah ibu dan wanita yang tidak dikenal anak tersebut.
Kategori ekspresi wajah terdiri dari kategori positif yaitu wajah tanpa
ekspresi (expressionless) dan wajah dengan ekspresi senang (Smile Face). Adapun
kategori negatif adalah wajah dengan ekspresi marah (Anger Face) dan wajah
dengan ekspresi terkejut (Surprise Face). Metode Percobaan yang dilakukan
adalah Pertama, mendudukan obyek pada pangkuan ibunya yang duduk di depan layar
monitor. Kemudian kami tampilkan gambar feedback dari obyek (feedback image)
agar obyek dapat memusatkan perhatiannya pada layar monitor. Setelah perhatian
obyek terpusat pada layar monitor, kami akan menampilkan foto wajah (Face
Picture Image) selama 3 detik. Setelah foto wajah hilang dari layar monitor
kembali akan tampak gambar feedback dari obyek(Feedback Image). Percobaan ini
diulang selama 24 kali. Selama percobaan berlangsung obyek terus di rekam
dengan menggunakan kamera video yang mana rekaman ini akan digunakan pada
proses analisa. Pada percobaan ini dilakukan 2 analisa sebagai berikut: Analisa
pada ekspresi wajah berdasarkan pada gerakan dasar otot wajah (aksi satuan
unit) dengan sintesis pada gerakan yang timbul di alis, mata, pipi dan mulut.
Analisa pada perhitungan waktu yang timbul sejak melihat gambar hingga timbul
perubahan ekspresi pada wajah ( waktu respon). Dari hasil analisa yang pertama,
dapat di dikategorikan dan dipisahkan anak-anak yang memiliki otak yang dapat
bekerja dengan normal dengan anak-anak yang memiliki masalah dalam mengamati
ekspresi wajah seseorang. Data-data yang ada pada analisa ini menunjukkan bahwa
dengan memperlihatkan gambar foto wajah yang bermacam-macam dan juga yang
memiliki ekspresi wajah yang berlainan ekspresi yang timbul pada wajah anak
juga berlainan. Kemudian dari analisa yang kedua, dapat dievaluasi efektifitas
dari otak dengan melakukan pengukuran pada waktu respon. Yang mana semakin
pendek waktu respon menunjukkan semakin baik otak bekerja dalam menerima
informasi. Adapun panjangnya waktu respon ini juga dipengaruhi oleh macam
gambar foto dan bentuk ekspresi wajah yang dilihat. Dari hasil risetini
disimpulkan bahwa anak-anak mudah menangkap pesan atau informasi yang tersirat
pada wajah dari sumber yang mereka kenal seperti dari ibu mereka dibandingkan
dari sumber yang asing bagi mereka. Juga disimpulkan bahwa perbedaan jenis
kelamin dan umur juga mempengaruhi ekspresi wajah yang muncul dan juga waktu
respon. Berdasarkan hasil riset ini. disarankan agar aksi satuan unit pada
gerakan dasar otot wajahdan waktu respon dapat dipakai sebagai acuan pengukuran
semacam parameter pada test IQ yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kecerdasan intelektual anak. Akhirnya, dengan menginstal acuan pengukuran pada
jaringan komputer diharapkan agar setiap ibu memiliki kesempatan untuk mengukur
tingkat kecerdasan intelektual dari anak-anak mereka.
PENDIDIKAN INKLUSI
Konsep Pendidikan Inklusi
Tujuan Pendidikan Inklusi
Pendidikan
inklusi memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, sehingga semua
siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler yang ada di sekolah
tetangga atau sekolah terdekat. Dengan demikian kehadiran pendidikan
inklusi berpotensi mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi
setiap anak dengan segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan
inklusi adalah sebuah proses pendidikan bagi semua anak. Hal ini melibatkan semua anak tanpa
menghiraukan bagaimana kondisi siswa. Sehingga, penyesuaian pendidikan harus
dirancang berdasarkan pada kebutuhan khusus dari semua anak. Pendidikan
inklusi mengandung konsekuensi bahwa dibutuhkan adanya perubahan di
sekolah maupun di lembaga pendidikan lainnya. Pertama, perubahan harus
ditekankan lebih pada pengembangan kesadaran sosial, termasuk di dalamnya
pengembangan kontak dan komunikasi di antara siswa. Kedua, penyesuaian dari isi
pembelajaran. dalam rangka menciptakan pendidikan yang lebih bermakna bagi
setiap pribadi siswa mesti dilakukan secara baik.
Pendidikan
inklusi adalah hak asasi, dan ini merupakan pendidikan yang baik
untuk meningkatkan toleransi sosial. Ada beberapa hal yang bisa kita
pertimbangkan, antara lain: (a) Semua anak memiliki hak untuk belajar secara
bersama?sama, (b) Keberadaan anak?anak jangan dinapikan atau didiskriminasikan,
dipisahkan, dikucilkan karena kekurangmampuan atau mengalami kesulitan dalam
pembelajaran, (c). Tidak ada satupun ketentuan untuk mengucilkan anak dalam
pendidikan, (d) Penelitian telah memperlihatkan bahwa anak-anak mendapat
kemampuan yang lebih baik, secara akademik dan sosial di dalam lingkungan
pembelajaran yang inklusi , (e) Tidak ada satupun metode dan bantuan pembelajaran
di SLB yang tidak dapat dilakukan di sekolah inklusi (f).Semua anak
membutuhkan pendidikan, yang akan mampu membantu mereka untuk melakukan
hubungan dan mempersiapkan kehidupan yang layak dalam kehidupan masyarakat yang
beragam, (g). Inklusi berpotensi untuk mengurangi kekhawatiran dan membangun,
menumbuhkan loyalitas dalam persahabatan serta membangun sikap memahami dan
menghargai. h) Sasaran pendidikan inklusi tidak hanya anak?anak
yang luar biasa/berkelainan saja namun juga termasuk sejumlah besar anak yang
terdaftar di sekolah.
Dengan
demikian maka tujuan pendidikan inklusi ini berarti pertama,
menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan,
menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan
menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut
kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dansekaligus
mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual,
bahasa dan kondisi lainnya. Kedua memberikan kesempatan untuk sama agar
memperoleh pendidikan yang sama dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa
yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi; bagi yang
secara fisik dan psikologis memperoleh hambatan dan kesulitan baik yang
permanen maupun sementara, dan bagi mereka yang terpisahkan dan termarjinkan.
Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah
maupun penjelasan mengenai anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan
seiring dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta budaya
masyarakat. Istilah dan konsep anak dengan pendidikan berkebutuhan khusus (children
with special needs education), yang berkembang dalam paradigma baru pendidikan
yaitu dalam pendidikan inklusi. Istilah anak berkebutuhan khusus tersebut bukan
berarti menggantikan istilah anak penyandang cacat atau anak luar biasa tetapi
memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak didik atau anak
yang memiliki kebutuhan yang beragam. Kebutuhan khusus yang dimaksud dalam hal
ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan (Sunanto:2003).
Dalam
tataran pendidikan inklusi, setiap anak dipandang mempunyai kebutuhan?kebutuhan
khusus baik bersifat permanen maupun temporer. Kebutuhan permanen adalah
kebutuhan yang secara menetap dan terus menerus ada dan tidak akan hilang
misalnya ketunanetraan, ketunarunguan, keterbelakangan mental, kelainan emosi,
dan sosial. Kebutuhan temporer kebutuhan yang bersifat sementara.
Sementara
James, Lynch dalam Astati (2003) mengemukakan bahwa anak?anak yang termasuk
kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa (anak berkekurangan
atau anak berkemampuan luar biasa), anak yang tidak pernah sekolah, anak yang
tidak teratur sekolah, anak yang drop out, anak yang sakit?sakitan, anak
pekerja usia muda, anak yatim piatu dan anak jalanan. Dengan demikian dari
penjelasan tersebut. maka anak luar biasa merupakan salah satu dan anak yang
dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus.
Dengan
demikian anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus
secara sementara atau. permanen dan atau kecacatan sehingga membutuhkan
penyesuaian layanan pendidikan. Kebutuhan mungkin disebabkan kelainan secara
bawaan atau dimiliki kemudian, masalah ekonomi, kondisi sosial emosi, kondisi
politik dan bencana alam.
Konsep
anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan
spektrum yang lebeh luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa
(exceptional children). Anak berkebutuhan khusus mencakup anak yang memiliki
kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari kecacatan tertentu (anak
penyandang cacat) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak
yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat trauma kerusuhan,
kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar atau tidak bisa
membaca, karena kekeliruan guru mengajar, dikategorikan sebagai anak
berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi
yang tepat bisa menjadi permanen.
Setiap
anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer,
memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda?beda. Hambatan belajar
yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) faktor
lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor
lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan
didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing?masing anak (Alimin:2005)
Pengelolaan Kelas Dalam Setting Menuju Pendidikan Inklusi
Prinsip
pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan
adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal
ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar
mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan
materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual
menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam
setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada
anak dan perubahan-perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).
Beberapa
hal berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusi dalam setting
sekolah, Skjorten (2003) mengemukakan tentang perlunya adaptasi kurikulum,
perubahan pendidikan yang potensial, kerjasama lintas sektoral dan adaptasi
lingkungan. Sedangkan Stainback dan Stainback (1990) dalam Sunardi (2000)
menggambarkan bahwa, ”sekolah yang inklusi adalah sekolah yang menampung semua
murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid serta
bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar anak berhasil. Selain
itu sekolah merupakan tempat setiap, anak untuk diterima, menjadi bagian dari
kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun
anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.”
Dalam setting
pendidikan inklusi di tataran kelas, pendidikan inklusi menuntut
adanya pendidikan/pembelajaran yang berpusat pada anak. Pendidikan inklusi
berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keragaman
dan menghargai perbedaan. Pendidikan inklusi juga menuntut
penerapan kurikulum yang fleksibel. Pendidikan inklusi juga berarti
mendorong guru sebagai fasilitator dan melakukan proses pembelajaran dan
pengajaran yang komunikatif dan interaktif, mendorong adanya kerjasama tim guru
(team work.).
Pendidikan
inklusi memungkinkan penyesuaian? penyesuaian bahan pelajaran, evaluasi, alat,
dan penataan lingkungan belajar anak. Pendidikan inklusi berarti mendorong
orang tua untuk terlibat secara proaktif dan bermakna, dalam proses perencanaan
pendidikan, pengajaran dan pembelajaran, bagi anak.
Dengan
kelas inklusi dimaksudkan akan dapat memenuhi kebutuhan individu setiap anak di
dalamnya, salah satu contoh anak berkebutuhan khusus kategori anak berbakat.
Anak berbakat sebenarnya juga dapat terlayani dengan baik di kelas?kelas
inklusi. Namun demikian, Sapon Shevin (1994/1995) dalam Sunardi (2002)
mempertanyakan sikap para pakar anak berbakat yang tidak begitu positif
terhadap pendidikan inklusi bagi anak berbakat. Mereka khawatir bahwa model
inklusi akan menurunkan kualitas dan mengakibatkan penghentian atau percepatan
secara individual, pembatasan kurikulum, dan penolakan atas perbedaan individu.
Salah
satu strategi pembelajaran yang paling banyak dipakai dalam inklusi, yaitu
pembelajaran kooperatif, Penggunaan model pembelajaran ini mereka anggap kurang
memberikan tantangan yang sesuai bagi anak berbakat dan hanya menempatkan anak
berbakat dalam posisi sebagai tutor teman-teman sebayanya.
Kekhawatiran
ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena salah satu karakteristik terpenting
dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif
terhadap kebutuhan individual setiap murid (Sunardi 2002). Untuk itu
Sapon?Shevin (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mengemukakan lima profil
pembelajaran di sekolah inklusi.
Pertama, Pendidikan inklusif berarti menciptakan
dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan
menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas
yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas
yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial
ekonomi, agama, dan sebagainya? Dengan demikian pengelolaan kelas dalam
pembelajaran kelas yang memang heterogen dan penuh dengan perbedaan?perbedaan
individual memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas
inklusi secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan
buku teks, atau materi biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar
kooperatif, tematik, dan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara
autentik.
Kedua
pendidikan inklusif
berarti menuntut penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas
yang inklusi berarti pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan
berpusat pada anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum
dan penerapan layanan program individual atau pendekatan proses kelompok dalam
implementasi kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.
Ketiga,
pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara
interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode
pembelajaran. Model kelas tradisional. di mana seorang guru secara sendirian
berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti
dengan model pembelajaran dimana murid?murid bekerja sama, saling mengajar, dan
secara, aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan
teman?temannya. Kaitan antara, pembelajaran. kooperatif dan kelas inklusi
sekarang jelas, semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi,
tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain. Konsep multiple
intelligence (intelegensi terdiri dari berbagai dimensi) sangat tepat dalam
implikasinya di kelas yang inklusi. Seseorang yang kuat di satu dimensi mungkin
lemah pada dimensi lain. Dengan demikian, seorang anak tidak akan selamanya
menjadi tutor atau pembimbing teman?temannya, suatu saat dia akan berbalik
menjadi anak yang membutuhkan orang lain.
Keempat,
Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara
terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
Memaknai prinsip ini berarti aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi
proses pembelajaran dengan kolaborasinya berbagai profesi atau dalam sebuah
tim, baik guru kelas, guru pembimbing khusus, dan ahli?ahli lainnya baik dalam
kolaborasi perencanaan, pelaksanaan maupun penanganannya.
Kelima
Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses
perencanaan. Pendidikan inklusi sangat bergantung kepada masukan orang tua pada
pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program
pengajaran. individual.
Pembelajaran
menuju pendidikan inklusif berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
menuju pendidikan inklusif adalah terbuka untuk menerima perbedaan anak yang
heterogen ditangani oleh tenaga, dari berbagai profesi sebagai satu tim,
sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi, hal ini tentu saja
menuntut banyak perubahan pada sistem pembelajaran konvensional, seperti yang
dipakai di Indonesia sekarang, ”Guru biasa”, perlu dibekali dengan pengetahuan
dan keterampilan dasar dalam menangani kelas yang heterogen, perlu dikembangkan
iklim kerjasama tim dari berbagai tenaga profesional, dan sekolah perlu
dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan semua anak luar biasa belajar di
sekolah tersebut.
Prinsip
pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan
adanya tuntutan. yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal
ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar
mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan
materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual
menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam
setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada
anak dan. Perubahan-perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).
Disadari
bahwa sesungguhnya kondisi saat ini sedang belajar tentang pendidikan inklusif
secara komprehensif dan mendalam. Namun demikian sesungguhnya bahwa hal
tersebut belum sepenuhnya dipahami dengan benar. Oleh sebab itu harus ada
perubahan strategi dalam mengkampanyekan pendidikan inklusi dengan tidak
langsung menyampaikan konsep pendidikan inklusi akan tetapi dimulai dengan
memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan guru yang ramah. (Alimin,
2005).
Implikasi Diberlakukannya Pendidikan Inklusi
Beberapa
implikasi dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Indonesia saat ini,
adalah sebagai berikut.
- Bagi sekolah luar biasa (SLB) yang telah lama ada di Indonesia, hendaknya tetap dapat dipertahankan dan dialih fungsikan sebagai (1) sekolah pusat sumber pengembang pendidikan inklusif. Sekolah ini dapat berfungsi menjadi sekolah pusat pelatihan dan pusat sumber tenaga terampil bagi sekolah?sekolah umum dan sebagai penyedia dukungan profesional bagi sekolah?sekolah umum dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus, (2) menjadi sekolah yang menangani peserta didik dengan karakteristik spesifik dengan memperhatikan metode dan program pembelajaran individu sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik melalui pendekatan inklusif.
- Bagi lembaga?lembaga pemerintah yang memberikan dukungan pelayanan dalam pendidikan inklusif (seperti Departemen pendidikan Nasional, dan Pemerintah Daerah) seyogianya mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan sosial seperti meningkatkan integrasi dan partisipasi serta memerangi eksklusif (keterpisahan). Lebih lanjut diperhatikan tinjauan khusus untuk merombak bentuk?bentuk lembaga yang khusus dan struktur administrasi yang dapat memberikan pelayanan langsung berkaitan dengan pendidikan inklusif.
- Bagi guru pendidikan luar biasa atau guru khusus dan guru kunjung hendaknya dapat memfungsikan dirinya sebagai guru sumber, dan guru metode pembelajaran inklusif. Pada pelaksanaannya guru ini menjadi yang dapat berkolaborasi dengan guru kelas umum yang bertanggung jawab untuk membina guru kelas umum dalam upaya meningkatkan strategi dan kegiatan?kegiatan yang dapat mendukung pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus di kelas umum. Guru semacam ini harus mampu menciptakan berbagai kegiatan yang kesemuanya merupakan upaya membantu guru?kelas dalam memecahkan permasalahan dan mampu bekerja semaksimal mungkin melakukan kegiatan layanan pembelajaran. Fungsi guru sumber dan guru metode pembelajaran inklusif antara lain sebagai: (1) pengembang perencanaan pembelajaran. (2) pengembang implementasi, (3) mitra?kerja guru kelas umum yang mampu melakukan assesment dalam upaya mendeteksi?dini saat menentukan kemampuan dan kelemahan peserta didik serta memberikan layanan prespektif terhadap peserta didiknya, (4) tenaga pendidik yang mampu melakukan monitoring program, (5) orang yang mampu melalaikan komunikasi dan hubungan dengan pihak-pihak lain, (6) pendidik yang mampu mengajar secara langsung.
Alimin, Z. dan Permanarian.
(2005). Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education ke Konsep Needs
Education dan Implikasinya Layanan Pendidikan. Bandung: Jassi
Astati. (2001). Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum. Bandung: Pendawa
Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Jhonsen, B.H., and Skjorten M.D., (2003). Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Skjorten, M. (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. Artikel dalam Johsen B.H. & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Sunardi. (2002). Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti
Toto Bintoro. 2004. Pendidikan Inklusi. Republika Online: http://www.republika.co.id
UNESCO. (2002). Understanding and Responding to Children’s Need in Inclusive Classroom. UNESCO
Astati. (2001). Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum. Bandung: Pendawa
Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Jhonsen, B.H., and Skjorten M.D., (2003). Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Skjorten, M. (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. Artikel dalam Johsen B.H. & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Sunardi. (2002). Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti
Toto Bintoro. 2004. Pendidikan Inklusi. Republika Online: http://www.republika.co.id
UNESCO. (2002). Understanding and Responding to Children’s Need in Inclusive Classroom. UNESCO
http://sambasalim.com/pendidikan/pendidikan-inklusi.html
Langganan:
Postingan (Atom)