Sabtu, 28 Juni 2014

S1 PROGRAM STUDY PENDIDIKAN LUAR BIASA


RETARDASI MENTAL


Deteksi Terhadap Anak-Anak Penderita Retardasi Mental Dengan Melakukan Analisa Pada Ekspresi Wajah



Dewasa ini anak-anak penderita retardasi mental mulai dapat dideteksi semenjak usia 3-4 tahun atau sesudah dilakukan evaluasi dengan test Kecerdasan Intelektual (IQ). Adapun test IQ yang ada saat ini hanya diperuntukkan bagi anak yang berusia di atas usia 3 tahun. Sampai sekarang belum ditemukan metode pengukuran IQ bagi anak-anak berusia di bawah 3 tahun. Jika anak-anak penderita retardasi mental dapat dideteksi sebelum berusia 3 tahun, rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin sebelum otak berkembang sempurna Sehingga kemungkinan untuk pulih akan semakin besar dan kemampuan anakpun akan dapat ditingkatkan. Riset ini bertujuan mendeteksi anak-anak penderita retardasi mental pada usia 6 hingga 12 bulan dengan menganalisa ekspresi wajah mereka setelah diperlihatkan foto-foto tertentu. Metode dilakukan dengan menganalisa pada ekspresi wajah anak-anak, lalu mengkategorikan anak-anak yang memiliki otak yang dapat bereaksi normal dan anak-anak yang memiliki masalah dalam menangkap informasi tertentu yang datang ke otak. Juga dilakukan evaluasi terhadap efektifitas otak anak dengan menghitung waktu respon yang timbul setelah anak melihat gambar-gambar foto tertentu. Semakin pendek waktu respon yang timbul semakin cepat kerja otak dalam mengolah informasi yang masuk. Sebaliknya semakin panjang waktu respon yang ada terdapat kemungkinan otak mempunyai masalah dalam mengolah suatu informasi. Sebagai obyek, 20 orang anak-anak Jepang yang terdiri dari 10 anak-anak laki-laki dan 10 anak-anak perempuan. Usia berkisar antara 6 bulan hingga 12 bulan. Gambar Foto Wajah dipilih 12 gambar foto wajah tertentu yang berukuran 512 x 512 pixel. Ke-12 gambar foto tersebut terdiri dari 4 foto dari ibu anak (Mother), 4 foto dari wanita yang tidak dikenal anak (Unknown Woman), dan 4 foto lagi dari gabungan (Combination) wajah ibu dan wanita yang tidak dikenal anak tersebut. Kategori ekspresi wajah terdiri dari kategori positif yaitu wajah tanpa ekspresi (expressionless) dan wajah dengan ekspresi senang (Smile Face). Adapun kategori negatif adalah wajah dengan ekspresi marah (Anger Face) dan wajah dengan ekspresi terkejut (Surprise Face). Metode Percobaan yang dilakukan adalah Pertama, mendudukan obyek pada pangkuan ibunya yang duduk di depan layar monitor. Kemudian kami tampilkan gambar feedback dari obyek (feedback image) agar obyek dapat memusatkan perhatiannya pada layar monitor. Setelah perhatian obyek terpusat pada layar monitor, kami akan menampilkan foto wajah (Face Picture Image) selama 3 detik. Setelah foto wajah hilang dari layar monitor kembali akan tampak gambar feedback dari obyek(Feedback Image). Percobaan ini diulang selama 24 kali. Selama percobaan berlangsung obyek terus di rekam dengan menggunakan kamera video yang mana rekaman ini akan digunakan pada proses analisa. Pada percobaan ini dilakukan 2 analisa sebagai berikut: Analisa pada ekspresi wajah berdasarkan pada gerakan dasar otot wajah (aksi satuan unit) dengan sintesis pada gerakan yang timbul di alis, mata, pipi dan mulut. Analisa pada perhitungan waktu yang timbul sejak melihat gambar hingga timbul perubahan ekspresi pada wajah ( waktu respon). Dari hasil analisa yang pertama, dapat di dikategorikan dan dipisahkan anak-anak yang memiliki otak yang dapat bekerja dengan normal dengan anak-anak yang memiliki masalah dalam mengamati ekspresi wajah seseorang. Data-data yang ada pada analisa ini menunjukkan bahwa dengan memperlihatkan gambar foto wajah yang bermacam-macam dan juga yang memiliki ekspresi wajah yang berlainan ekspresi yang timbul pada wajah anak juga berlainan. Kemudian dari analisa yang kedua, dapat dievaluasi efektifitas dari otak dengan melakukan pengukuran pada waktu respon. Yang mana semakin pendek waktu respon menunjukkan semakin baik otak bekerja dalam menerima informasi. Adapun panjangnya waktu respon ini juga dipengaruhi oleh macam gambar foto dan bentuk ekspresi wajah yang dilihat. Dari hasil risetini disimpulkan bahwa anak-anak mudah menangkap pesan atau informasi yang tersirat pada wajah dari sumber yang mereka kenal seperti dari ibu mereka dibandingkan dari sumber yang asing bagi mereka. Juga disimpulkan bahwa perbedaan jenis kelamin dan umur juga mempengaruhi ekspresi wajah yang muncul dan juga waktu respon. Berdasarkan hasil riset ini. disarankan agar aksi satuan unit pada gerakan dasar otot wajahdan waktu respon dapat dipakai sebagai acuan pengukuran semacam parameter pada test IQ yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan intelektual anak. Akhirnya, dengan menginstal acuan pengukuran pada jaringan komputer diharapkan agar setiap ibu memiliki kesempatan untuk mengukur tingkat kecerdasan intelektual dari anak-anak mereka.





PENDIDIKAN INKLUSI


Konsep Pendidikan Inklusi
Tujuan Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi   memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, sehingga semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler yang ada di sekolah tetangga atau sekolah terdekat. Dengan demikian kehadiran pendidikan inklusi   berpotensi mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi setiap anak dengan segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi   adalah sebuah proses pendidikan bagi semua anak. Hal ini melibatkan semua anak tanpa menghiraukan bagaimana kondisi siswa. Sehingga, penyesuaian pendidikan harus dirancang berdasarkan pada kebutuhan khusus dari semua anak. Pendidikan inklusi   mengandung konsekuensi bahwa dibutuhkan adanya perubahan di sekolah maupun di lembaga pendidikan lainnya. Pertama, perubahan harus ditekankan lebih pada pengembangan kesadaran sosial, termasuk di dalamnya pengembangan kontak dan komunikasi di antara siswa. Kedua, penyesuaian dari isi pembelajaran. dalam rangka menciptakan pendidikan yang lebih bermakna bagi setiap pribadi siswa mesti dilakukan secara baik.
Pendidikan inklusi   adalah hak asasi, dan ini merupakan pendidikan yang baik untuk meningkatkan toleransi sosial. Ada beberapa hal yang bisa kita pertimbangkan, antara lain: (a) Semua anak memiliki hak untuk belajar secara bersama?sama, (b) Keberadaan anak?anak jangan dinapikan atau didiskriminasikan, dipisahkan, dikucilkan karena kekurangmampuan atau mengalami kesulitan dalam pembelajaran, (c). Tidak ada satupun ketentuan untuk mengucilkan anak dalam pendidikan, (d) Penelitian telah memperlihatkan bahwa anak-anak mendapat kemampuan yang lebih baik, secara akademik dan sosial di dalam lingkungan pembelajaran yang inklusi  , (e) Tidak ada satupun metode dan bantuan pembelajaran di SLB yang tidak dapat dilakukan di sekolah inklusi   (f).Semua anak membutuhkan pendidikan, yang akan mampu membantu mereka untuk melakukan hubungan dan mempersiapkan kehidupan yang layak dalam kehidupan masyarakat yang beragam, (g). Inklusi berpotensi untuk mengurangi kekhawatiran dan membangun, menumbuhkan loyalitas dalam persahabatan serta membangun sikap memahami dan menghargai. h) Sasaran pendidikan inklusi   tidak hanya anak?anak yang luar biasa/berkelainan saja namun juga termasuk sejumlah besar anak yang terdaftar di sekolah.
Dengan demikian maka tujuan pendidikan inklusi   ini berarti pertama, menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan, menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dansekaligus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya. Kedua memberikan kesempatan untuk sama agar memperoleh pendidikan yang sama dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi; bagi yang secara fisik dan psikologis memperoleh hambatan dan kesulitan baik yang permanen maupun sementara, dan bagi mereka yang terpisahkan dan termarjinkan. 
Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah maupun penjelasan mengenai anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan seiring dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta budaya masyarakat. Istilah dan konsep anak dengan pendidikan berkebutuhan khusus (children with special needs education), yang berkembang dalam paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendidikan inklusi. Istilah anak berkebutuhan khusus tersebut bukan berarti menggantikan istilah anak penyandang cacat atau anak luar biasa tetapi memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak didik atau anak yang memiliki kebutuhan yang beragam. Kebutuhan khusus yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan (Sunanto:2003).
Dalam tataran pendidikan inklusi, setiap anak dipandang mempunyai kebutuhan?kebutuhan khusus baik bersifat permanen maupun temporer. Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang secara menetap dan terus menerus ada dan tidak akan hilang misalnya ketunanetraan, ketunarunguan, keterbelakangan mental, kelainan emosi, dan sosial. Kebutuhan temporer kebutuhan yang bersifat sementara.
Sementara James, Lynch dalam Astati (2003) mengemukakan bahwa anak?anak yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa (anak berkekurangan atau anak berkemampuan luar biasa), anak yang tidak pernah sekolah, anak yang tidak teratur sekolah, anak yang drop out, anak yang sakit?sakitan, anak pekerja usia muda, anak yatim piatu dan anak jalanan. Dengan demikian dari penjelasan tersebut. maka anak luar biasa merupakan salah satu dan anak yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus.
Dengan demikian anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus secara sementara atau. permanen dan atau kecacatan sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Kebutuhan mungkin disebabkan kelainan secara bawaan atau dimiliki kemudian, masalah ekonomi, kondisi sosial emosi, kondisi politik dan bencana alam.
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebeh luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus mencakup anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat trauma kerusuhan, kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar atau tidak bisa membaca, karena kekeliruan guru mengajar, dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat bisa menjadi permanen.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda?beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing?masing anak (Alimin:2005)

Pengelolaan Kelas Dalam Setting Menuju Pendidikan Inklusi

Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi   menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak dan perubahan­-perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).
Beberapa hal berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusi dalam setting sekolah, Skjorten (2003) mengemukakan tentang perlunya adaptasi kurikulum, perubahan pendidikan yang potensial, kerjasama lintas sektoral dan adaptasi lingkungan. Sedangkan Stainback dan Stainback (1990) dalam Sunardi (2000) menggambarkan bahwa, ”sekolah yang inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid serta bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar anak berhasil. Selain itu sekolah merupakan tempat setiap, anak untuk diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.”
Dalam setting pendidikan inklusi di tataran kelas, pendidikan inklusi   menuntut adanya pendidikan/pembelajaran yang berpusat pada anak. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keragaman dan menghargai perbedaan. Pendidikan inklusi   juga menuntut penerapan kurikulum yang fleksibel. Pendidikan inklusi   juga berarti mendorong guru sebagai fasilitator dan melakukan proses pembelajaran dan pengajaran yang komunikatif dan interaktif, mendorong adanya kerjasama tim guru (team work.).
Pendidikan inklusi memungkinkan penyesuaian? penyesuaian bahan pelajaran, evaluasi, alat, dan penataan lingkungan belajar anak. Pendidikan inklusi berarti mendorong orang tua untuk terlibat secara proaktif dan bermakna, dalam proses perencanaan pendidikan, pengajaran dan pembelajaran, bagi anak.
Dengan kelas inklusi dimaksudkan akan dapat memenuhi kebutuhan individu setiap anak di dalamnya, salah satu contoh anak berkebutuhan khusus kategori anak berbakat. Anak berbakat sebenarnya juga dapat terlayani dengan baik di kelas?kelas inklusi. Namun demikian, Sapon Shevin (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mempertanyakan sikap para pakar anak berbakat yang tidak begitu positif terhadap pendidikan inklusi bagi anak berbakat. Mereka khawatir bahwa model inklusi akan menurunkan kualitas dan mengakibatkan penghentian atau percepatan secara individual, pembatasan kurikulum, dan penolakan atas perbedaan individu.
Salah satu strategi pembelajaran yang paling banyak dipakai dalam inklusi, yaitu pembelajaran kooperatif, Penggunaan model pembelajaran ini mereka anggap kurang memberikan tantangan yang sesuai bagi anak berbakat dan hanya menempatkan anak berbakat dalam posisi sebagai tutor teman-teman sebayanya.
Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid (Sunardi 2002). Untuk itu Sapon?Shevin (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi.
Pertama, Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, agama, dan sebagainya? Dengan demikian pengelolaan kelas dalam pembelajaran kelas yang memang heterogen dan penuh dengan perbedaan?perbedaan individual memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusi secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, dan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.
Kedua pendidikan inklusif berarti menuntut penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusi berarti pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan layanan program individual atau pendekatan proses kelompok dalam implementasi kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.
Ketiga, pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional. di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model pembelajaran dimana murid?murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara, aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman?temannya. Kaitan antara, pembelajaran. kooperatif dan kelas inklusi sekarang jelas, semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain. Konsep multiple intelligence (intelegensi terdiri dari berbagai dimensi) sangat tepat dalam implikasinya di kelas yang inklusi. Seseorang yang kuat di satu dimensi mungkin lemah pada dimensi lain. Dengan demikian, seorang anak tidak akan selamanya menjadi tutor atau pembimbing teman?temannya, suatu saat dia akan berbalik menjadi anak yang membutuhkan orang lain.
Keempat, Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Memaknai prinsip ini berarti aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi proses pembelajaran dengan kolaborasinya berbagai profesi atau dalam sebuah tim, baik guru kelas, guru pembimbing khusus, dan ahli?ahli lainnya baik dalam kolaborasi perencanaan, pelaksanaan maupun penanganannya.
Kelima Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan. Pendidikan inklusi sangat bergantung kepada masukan orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran. individual.
Pembelajaran menuju pendidikan inklusif berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menuju pendidikan inklusif adalah terbuka untuk menerima perbedaan anak yang heterogen ditangani oleh tenaga, dari berbagai profesi sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi, hal ini tentu saja menuntut banyak perubahan pada sistem pembelajaran konvensional, seperti yang dipakai di Indonesia sekarang, ”Guru biasa”, perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dasar dalam menangani kelas yang heterogen, perlu dikembangkan iklim kerjasama tim dari berbagai tenaga profesional, dan sekolah perlu dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan semua anak luar biasa belajar di sekolah tersebut.
Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi   menyebabkan adanya tuntutan. yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak dan. Perubahan-­perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).
Disadari bahwa sesungguhnya kondisi saat ini sedang belajar tentang pendidikan inklusif secara komprehensif dan mendalam. Namun demikian sesungguhnya bahwa hal tersebut belum sepenuhnya dipahami dengan benar. Oleh sebab itu harus ada perubahan strategi dalam mengkampanyekan pendidikan inklusi dengan tidak langsung menyampaikan konsep pendidikan inklusi akan tetapi dimulai dengan memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan guru yang ramah. (Alimin,  2005).

Implikasi Diberlakukannya Pendidikan Inklusi

Beberapa implikasi dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Indonesia saat ini, adalah sebagai berikut.
  1. Bagi sekolah luar biasa (SLB) yang telah lama ada di Indonesia, hendaknya tetap dapat dipertahankan dan dialih fungsikan sebagai (1) sekolah pusat sumber pengembang pendidikan inklusif. Sekolah ini dapat berfungsi menjadi sekolah pusat pelatihan dan pusat sumber tenaga terampil bagi sekolah?sekolah umum dan sebagai penyedia dukungan profesional bagi sekolah?sekolah umum dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus, (2) menjadi sekolah yang menangani peserta didik dengan karakteristik spesifik dengan memperhatikan metode dan program pembelajaran individu sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik melalui pendekatan inklusif.
  2. Bagi lembaga?lembaga pemerintah yang memberikan dukungan pelayanan dalam pendidikan inklusif (seperti Departemen pendidikan Nasional, dan Pemerintah Daerah) seyogianya mampu mengeluarkan kebijakan­-kebijakan sosial seperti meningkatkan integrasi dan partisipasi serta memerangi eksklusif (keterpisahan). Lebih lanjut diperhatikan tinjauan khusus untuk merombak bentuk?bentuk lembaga yang khusus dan struktur administrasi yang dapat memberikan pelayanan langsung berkaitan dengan pendidikan inklusif.
  3. Bagi guru pendidikan luar biasa atau guru khusus dan guru kunjung hendaknya dapat memfungsikan dirinya sebagai guru sumber, dan guru metode pembelajaran inklusif. Pada pelaksanaannya guru ini menjadi yang dapat berkolaborasi dengan guru kelas umum yang bertanggung jawab untuk membina guru kelas umum dalam upaya meningkatkan strategi dan kegiatan?kegiatan yang dapat mendukung pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus di kelas umum. Guru semacam ini harus mampu menciptakan berbagai kegiatan yang kesemuanya merupakan upaya membantu guru?kelas dalam memecahkan permasalahan dan mampu bekerja semaksimal mungkin melakukan kegiatan layanan ­pembelajaran. Fungsi guru sumber dan guru metode pembelajaran inklusif antara lain sebagai: (1) pengembang perencanaan pembelajaran. (2) pengembang implementasi, (3) mitra?kerja guru kelas umum yang mampu melakukan assesment dalam upaya mendeteksi?dini saat menentukan kemampuan dan kelemahan peserta didik serta memberikan layanan prespektif terhadap peserta didiknya, (4) tenaga pendidik yang mampu melakukan monitoring program, (5) orang yang mampu melalaikan komunikasi dan hubungan dengan pihak-pihak lain, (6) pendidik yang mampu mengajar secara langsung.
Daftar Bacaan
Alimin, Z. dan Permanarian. (2005). Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education ke Konsep Needs Education dan Implikasinya Layanan Pendidikan. Bandung: Jassi
Astati. (2001). Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum. Bandung: Pendawa
Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi. Pidato Pengukuhan Guru Besar.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Jhonsen, B.H., and Skjorten M.D., (2003). Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Skjorten, M. (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. Artikel dalam Johsen B.H. & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Sunardi. (2002). Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti
Toto Bintoro. 2004. Pendidikan Inklusi. Republika Online: http://www.republika.co.id
UNESCO.
(2002). Understanding and Responding to Children’s Need in Inclusive Classroom. UNESCO
http://sambasalim.com/pendidikan/pendidikan-inklusi.html